Deputi Badan Pengurus Yayasan Pusaka Indonesia (YPI), Prawoto menjelaskan, dalam kurun waktu 1 tahun terakhir, YPI telah melaksanakan rangkaian kegiatan Sosialisasi Pajak Rokok untuk pembangunan kesehatan masyarakat, bekerjasama dengan Dinas Kesehatan di 6 Kabupaten/Kota di Sumut, yakni Medan, Binjai, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar dan Pakpak Bharat.“Medan, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi dan Pakpak Bharat adalah daerah yang telah memiliki regulasi lokal berupa Perda/Perwal/Perbup terkait dengan KTR. Sedangkan Binjai dan Pematang Siantar adalah daerah yang sama sekali belum memiliki regulasi lokal KTR,” ungkapnya dalam Seminar Nasional Pembangunan Kesehatan dan Penguatan Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Hotel Santika Dyandra, Rabu (31/1/2018).
Meski begitu, lanjut dia, terlihat antusiasme dan komitmen dari SKPD terkait di 6 wilayah tersebut untuk mengoptimalkan dana pajak rokok dalam pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya masing-masing. Medan misalnya, dalam tahun anggaran 2017 telah berhasil menggunakan pajak rokok daerah sebesar lebih Rp 1,5 miliar untuk implementasi dan penegakan Perda KTR.
“Diharapkan tersampaikannya kebijakan-kebijakan penggunaan dana pajak rokok daerah, khususnya yang terkait dengan pembangunan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Juga tersampaikannya prinsip-prinsip pengelolaan dan strategi untuk mengoptimalisasi dana pajak rokok daerah dalam penyusunan program pembangunan kesehatan masyarakat di kabupaten/kota di Sumut,” pungkasnya.
Sementara Peneliti Puslit Badan Keahlian DPR RI, Rohani Budi Prihatin mengemukakan keprihatinannya terhadap penggunaan dana hasil dari penerimaan cukai rokok.
Menurut Budi, dana yang didapat dari penerimaan cukai tembakau sangat besar dan sudah disalurkan ke tiap kabupaten/ kota di Indonesia.
“Ada dua keran penerimaan, pertama sebesar 2 persen dari penerimaan cukai rokok yakni DBHCT, bayangkan tahun lalu penerimaan Rp 149 triliun,” ujarnya,
Pada acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Pusaka Indonesia itu, Budi menjelaskan keran kedua yakni sesuai UU no 28 tahun 2009 yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah.
“Pada aturan itu hasil penerimaan pajak rokok oleh Dirjen Bea Cukai diserahkan kepada 70 persen kabupaten dan kota, 30 persen ke provinsi, pada tahun 2017 sebesar 155,4 triliun,” ujarnya.
Namun, menurut Budi dari dua sumber dana tersebut yakni, Dana Bagi Hasil Cukai dan Hasil Tembakau (DBHCHT) dan pajak rokok, penyerapannya masih rendah.
Masalah yang sering terjadi di daerah menurut Budi, terkait koordinasi antar lembaga, keterbukaan informasi, serta penyerapan.
“Ada juga alokasi dana yang harusnya untuk fasilitas kesehatan, perda kawasan tanpa rokok dan penegakannya, digunakan ke pembelian fasilitas yang kadang tidak ada hubungannya,” ujarnya.
Budi berharap, berbagai instansi daerah yang terkait dengan penggunaan pajak rokok maupun DBHCHT pro aktif membuat program terkait perda kawasan rokok beserta penegakannya.
“Dan juga untuk mengurangi konsumsi rokok, melindungi dampak negatif dari rokok, dan menyediakan pelayanan kesehatan,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Kasubdit Penyakit Paru Kronik dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan RI, Theresia Sandra Diah Ratih mestinya Seluruh kabupaten/kota di Indonesia seharusnya sudah melahirkan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sendiri. Hal tersebut sangat penting agar dapat melindungi masyarakat, khususnya mereka yang tidak merokok agar tidak terkontaminasi.
“KTR ini sudah banyak regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah untuk mendukung perdanya. Mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) yang sudah ada, surat edaran Kemendagri hingga Inpres Presiden lewat program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) juga sudah dikeluarkan,” katanya.
Maka dari itu, perda KTR tentu harus diberdayakan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Paling tidak agar melindungi mereka yang tidak merokok supaya tidak ikut terdampak.
“Tapi kalau Perda, memang biasanya ada gesekan politik dari eksekutif dan legislatif. Maka untuk melahirkannya harus ada proses. Jadi memang perjuangan ini panjang, apalagi bila Perda KTR ini dapat berjalan, akan dapat menurunkan tingkat perokok terutama kalangan pemula hinga 40 persen,” terangnya.
Sementara untuk penggunaan pajak rokok, sambungnya, ia berharap dapat meningkatkan upaya promotif serta preventif. Tujuannya guna menurunkan faktor risiko penyakit tidak menular dan penyakit menular termasuk imunisasi.
Selain itu, ia menuturkan, pajak rokok juga bisa digunakan untuk meningkatkan promosi kesehatan. Misalnya kesehatan keluarga, gizi, lingkungan, kerja dan olahraga, pengendalian konsumsi rokok dan produk tembakau serta pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan pertama.
Wakil Walikota Medan, Akhyar Nasution dalam pembukaan seminar tersebut mengajak seluruh pihak terkait dan masyarakat mendukung implementasi KTR di Medan. Sebab tanpa adanya dukungan masyarakat, program pengendalian asap rokok ini akan sulit dilaksanakan.
“Untuk di rumah, pengendalian juga bisa dilakukan dengan tidak menyediakan asbak rokok,” ujarnya.
Ia menyampaikan, kesehatan merupakan investasi pembangunan daerah. Jadi yang harus dilakukan pemerintah adalah meningkatkan kapasitas masyarakat, salah satunya dengan upaya promotif dan preventif, dengan menggunakan pajak rokok semaksimal mungkin, yakni melalui KTR.
“Memang untuk mengubah kebiasaan sulit. Karenanya perlu kebijakan dalam pengendalian pengguna rokok ini. Agar lingkungan sehat dapat terwujud di lingkungan kita,” pungkasnya.