Jakarta, 22 Juni 2021 – Hari ini, Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) yang diwakili
Yayasan Lentera Anak, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Komnas Pengendalian
Tembakau, FAKTA Indonesia, dan Indonesia Institute for Social Development (IISD)
menyatakan desakan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan revisi PP
109/2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif dan bertindak tegas kepada para Menteri sebagai
pembantu Presiden yang melakukan penolakan terhadap proses revisi PP ini.
Pada pertengahan Maret 2021 lalu, dalam sebuah webinar yang berlangsung di Jakarta, Menteri
Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyatakan komitmen untuk tetap melanjutkan penyelesaian
Revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produ
Tembakau bagi Kesehatan. Pernyataan Menkes memberikan secercah harapan bahwa Pemerintah
memang bertekad melindungi masyarakat, khususnya perlindungan masyarakat dari bahaya rokok
dan target pemasaran industri rokok.
Namun, hingga hari ini, upaya Kemenkes untuk merampungkan penyelesaian regulasi ini tampaknya
mengalami hambatan dari berbagai pihak. Setelah Menteri Kesehatan membuat pernyataan di atas
dan proses revisi kembali berjalan setelah tiga tahun tak kunjung selesai, marak pemberitaan
penolakan terhadap Revisi PP Pengamanan Zat Adiktif Nomor 109 tahun 2012. Mulai dari anggota
DPR, DPD, kelompok yang mengatasnamakan petani, asosiasi pengusaha rokok, pengusaha
periklanan, hingga Kemenko Perekonomian dan Kementerian Perindustrian.
Utamanya, penolakan tersebut mengatasnamakan petani tembakau dan buruh pabrik rokok, yang
disebut-sebut akan menjadi sangat menderita bila revisi PP Pengamanan Zat Adiktif tetap dijalankan.
Tetapi pak Istanto, seorang petani dari desa Candisari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah, menyatakan justru hidupnya menjadi lebih sejahtera setelah menjadi petani
multikultur. “Justru setelah tidak lagi bertani tembakau kehidupan saya menjadi lebih baik. Ketika
dulu kami susah sebagai petani tembakau bukan karena adanya peraturan tembakau, tapi karena
pola perdagangan tembakaunya yang dikuasai tengkulak, sehingga merugikan petani tembakau,”
kata petani ubi jalar dan kopi ini.
Hal lain yang juga sering disampaikan sebagai narasi penolakan terhadap revisi PP Pengamanan Zat
Adiktif adalah Pemerintah harus fokus pada upaya penanggulangan Pandemi Covid-19, dan tidak
perlu memprioritaskan regulasi Kesehatan lainnya seperti Revisi PP Pengamanan Zat Adiktif,
padahal Revisi PP ini merupakan amanat Keputusan Presiden Nomor 9/2018 dimana revisi 3
semestinya dilakukan dalam kurun satu tahun sejak 3 Mei 2018, tapi faktanya, penyelesaian revisi
terus tertunda dan penolakan terhadapnya justru bermunculan dari sejumlah kementerian.
Presiden Joko Widodo pernah menegaskan kepada jajaran Kabinet Indonesia Maju bahwa menteri
tidak boleh memiliki visi misi sendiri dalam tugasnya, tetapi harus bekerja dengan mengacu kepada
visi misi Presiden dan wakil Presiden. “Tidak ada visi misi menteri, yang ada adalah visi misi Presiden
dan wakil Presiden,” (Joko Widodo, disampaikan pada Sidang Kabinet Paripurna Pertama,
24/10/2019).
“Epidemi ganda mengancam jiwa rakyat Indonesia saat ini, yaitu epidemi karena penggunaan
tembakau dan epidemi COVID-19. Epidemi karena merokok menambah risiko penularan dan
mempercepat kematian bila terinfeksi COVID-19 sehingga pemerintah, dalam hal ini Presiden
bersama para menteri terkait, harus bersatu untuk melindungi masyarakat, sesuai perintah UU No.
36/2009 tentang Kesehatan,” jelas dr. Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI 2012 – 2014 yang juga
merupakan Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau. “Tidak masuk akal jika ada menteri
yang sekarang masih menolak dan menunda-menunda revisi PP 109/2021, apalagi, karena fokus
pemerintah kita sekarang mengurangi risiko penularan dan kematian karena Covid 19,” tambah dr.
Nafsiah Mboi.
Tertundanya revisi PP109/2012 hingga tiga tahun sangat mengecewakan masyarakat yang sudah
sangat lama menunggu penyelesaian regulasi ini. Sebab, Revisi PP 109 akan menjadi kunci yang
diperlukan untuk mendukung pencapaian target kesehatan yang dicanangkan Pemerintah dalam
Perpres No. 18/2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 –
2024, yang merupakan penjabaran visi dan misi Presiden, melalui berbagai kebijakan dan program
kerja yang harus dilakukan para Menteri sebagai pembantu Presiden.
Dalam RPJMN 2020-2024, Pemerintah menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7%
pada tahun 2024. Sehingga, Revisi PP 109/2012 menjadi sangat penting untuk melindungi anak
Indonesia, dan menurunkan prevalensi perokok anak yang angkanya terus meningkat dari tahun ke
tahun. Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi merokok anak usia 10 sampai 18 tahun
meningkat sebesar 1,9% dari tahun 2013 (7,2%) ke tahun 2018 (9,1%). Padahal RPJMN 2014-
2019 menargetkan perokok anak seharusnya turun menjadi 5,4% pada 2019.
“Peningkatan prevalensi perokok anak menjadi bukti lemahnya pengendalian tembakau di
Indonesia, khususnya PP Pengamanan Zat Adiktif. Padahal Indonesia sdh ratifikasi konvensi hak
anak, dimana semua pihak (termasuk Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan,
anggota DPR) terikat untuk melindungi hak anak. Salah satunya, melalui RPJMN adalah komitmen
Presiden untuk melindungi hak anak. Karena itu sangat tidak elok apabila membenturkan
perlindungan anak dengan kepentingan ekonomi, investasi, dan lain-lain,” ujar Lisda Sundari, Ketua
Yayasan Lentera Anak. “Revisi PP sudah dimulai sejak 2018, sebelum pandemi Covid-19, jadi tidak
adil kalau melakukan revisi PP Pengamanan Zat Adiktif dianggap tidak penting,” tambah Lisda.
Sudibyo Markus, Dewan Penasihat Indonesia Institute for Social Development (IISD) menyatakan
bahwa RPJMN 2020-2024 adalah elaborasi dari visi dan misi Presiden 2020-2024, maka harus
diikuti oleh seluruh Kementerian sesuai arahan Presiden. Karena itu, penolakan terhadap
penyelesaian Revisi PP 109/2012, bisa dikategorikan sebagai sikap tidak patuh terhadap Presiden.
“Demi rakyat Indonesia, kami mendesak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo untuk segera 3
menyelesaikan revisi PP109/2012 dan menertibkan jajarannya dalam menyukseskan upaya ini,”
tegasnya.
Memperkuat pernyataan Sudibyo, Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesi
menegaskan, “Pemerintah tidak boleh terus menggantung Revisi PP Pengamanan Zat Adiktif, karena
prosesnya sudah terlalu lama dan tidak ada kepastian hukum, sementara korban terus berjatuhan
dan dampak pandemi COVID-19 semakin terpuruk. Sikap terus menggantung revisi PP109/2012
adalah kasus pembiaran dan ketidakpastian hukum dalam melindungi masyarakat.”
Demikian siaran pers ini disampaikan.
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi iyet@lenteraanak.org / sekretariat@komnaspt.or.id/ telp
021-3917354